A. PENGERTIAN
Diglosia
adalah sebuah istilah yang kali pertama dimunculkan Ferguson (1959), yang
menunjuk pada ragam bahasa yang masing-masing mempunyai peran dan fungsi yang
berbeda-beda dalam suatu masyarakat tutur (Chaer, 2004:92).
Dari
pendapat diatas mengenai diglosia, dapat diambil kesimpulan bahwa diglosia
adalah suatu keadaan dimana terjadi penggunaan lebih dari satu bahasa yang
dipergunakan dalam satu masyarakat tutur yang sama. Dalam percampuran tersebut,
salah satu ragam bahasa dianggap memiliki status yang lebih tinggi dibandingkan
bahasa yang lainnya. Diglosia
ini terjadi apabila dalam
suatu masyarakat terdapat dua bahasa (variasi) atau lebih yang saling
berdampingan satu sama lain dalam pemakaiannya dan mempunyai fungsi sosial tertentu
yang disadari pemakaiannya.
B. CIRI-CIRI
DIGLOSIA
Ciri-ciri
situasi diglosia yang paling penting adalah pengkhususan fungsi masing-masing
ragam bahasa. Ragam bahasa tinggi khusus digunakan dalam situasi-situasi formal
seperti kegiatan keagamaan, pidato-pidato, kuliah, siaran berita, atau pada
tajuk rencana dalam surat kabar. Sebaliknya, ragam bahasa rendah biasa
digunakan dalam situasi-situasi santai seperti percakapan sehari-hari dalam
keluarga, antara teman, cerita bersambung dalam radio, atau dalam sastra
rakyat.
C. SEMBILAN
SEGI DIGLOSIA
Menurut
Ferguson, diglosia terdiri dari sembilan segi, yaitu:
1.
Fungsi diglosia
Bahasa
mempunyai dua ragam yang berbeda, yaitu ragam tinggi dan ragam rendah. Ragam
tinggi fungsinya untuk keadaan formal, sedangkan ragam rendah fungsinya untuk
keadaan santai atau non formal. Dalam
bahasa Jawa, ragam tinggi adalah bahasa krama,
sedangkan ragam rendahnya adalah bahasa ngoko.
2. Prestise
Prestise bahasa
adalah suatu tingkat rasa bangga yang timbul dari suatu bahasa pada diri
seorang penutur. Ragam tinggi memiliki Prestise yang lebih tinggi sehingga dianggap
lebih sopan dan lebih dihormati atau disegani oleh lawan tutur, sedangkan ragam
rendah memiliki Prestise yang lebih rendah sehingga lebih
disepelekan dan tidak begitu dihormati.
3. Warisan
tradisi tulis menulis
Warisan
tradisi tulis menulis dapat
dilihat dari banyaknya kepustakaan yang ditulis dengan ragam tinggi, hal ini merupakan kelanjutan besar dari tradisi masa lalu.
4. Pemerolehan
bahasa
Pemerolehan
bahasa ragam rendah diperoleh dari
lingkungn kehidupan sehari-hari. Umumnya ragam bahasa ini diperoleh ketika
berkomunikasi dengan lawan
tutur yang sebaya atau setara dalam tataran sosial. Hal ini sangat berbeda
dengan ragam bahasa tinggi, ragam bahasa tinggi
biasanya diperoleh ketika proses belajar mengajar di sekolah.
5. Pembakuan
diglosia
Ragam bahasa tinggi lebih
diutamakan dalam hal pembakuan
bahasa. Ragam bahasa rendah umumnya bersifat lokal kedaerahan kebaisaan
sehari-hari dan tidak ada pembakuan seperti pada
ragam bahasa tinggi. Pembakuan bahasa
tinggi ini terbukti dari adanya kamus, tata bahasa, buku petunjuk lafal, dan
buku-buku mengenai pemakaian bahasa yang benar ditulis dalam ragam bahasa
tinggi.
6. Stabilitas
Setiap dilglosia harus ada dua ragam
bahasa yang dipertahankan keberadaannya. Dua ragam bahasa itu adalah ragam
bahasa tinggi dan ragam bahasa rendah.
7. Tata
bahasa
Banyak perbedaan kaidah tata bahasa antara ragam
tinggi dan ragam rendah meskipun keduanya merupakan
suatu bahasa yang sama, misalkan antara bahasa
jawa krama dan ngoko.
8. Kosakata
Kosakata-kosakata
yang terdapat dalam ragam tinggi dan rendah sebagian sama, akan tetapi bisa
saja terdapat kosa kata yang ada dalam ragam tinggi tetapi
tidak ada dalam ragam rendah, atau sebaliknya.
9. Fonologi
Sistem
fonologi ragam tinggi dan ragam rendah sebenarnya adalah suatu sistem fonologi
tunggal. Maksud dari pernyataan tersebut adalah sistem fonologi ragam rendah
merupakan sistem fonologi dasar sedangkan
unsur-unsur fonologi ragam tnggi merupakan sistem bawahan dan sistem atasan, tetapi strukturnya sama.
D. KAITAN
BILINGUALISME DAN DIGLOSIA
Sementara
dalam kacamata Fishman
dalam Abdul Chaer dan Leonie (2004:102),
diglosia tidak hanya semata-mata merupakan gejala yang terdapat dalam
masyarakat monolingual melainkan lebih dari itu diglosia juga mengacu kepada
pemakaian dua bahasa yang berbeda dengan fungsi dan peran yang tidak sama pula.
Lebih lanjut, Fishman menunjukkan kemungkinan hubungan interaksi antara
bilingualisme dan diglosia kedalam empat tipe masyarakat yaitu: (1) masyarakat
dalam bilingualisme dan diglosia (2) masyarakat dengan bilingualisme tanpa
diglosia (3) masyarakat dengan diglosia tetapi tanpa bilingualisme (4)
masyarakat tanpa diglosia dan tanpa bilingualisme.
E. DAFTAR
PUSTAKA
Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. 2004. Sosiolinguistik Perkenalan Awal. Jakarta
: Rineka Cipta
Ibrahim, Abdul Syukur. 1993. Kapita Selekta Sosiolinguistik. Surabaya
: Usaha Nasional
0 komentar:
Post a Comment