Dari
Tegal datang merantau ke Jogja merupakan sebuah pekerjaan yang sangat berat. Khususnya
dalam hal budaya. Kita semua tahu Jogja dengan segala budaya Jawa yang
adiluhung yang masih sangat terjaga, sedangkan Tegal merupakan daerah Jawa yang
rasanya sudah mulai luntur ke-Jawaannya.
Budaya
yang paling terlihat disini salah satunya adalah budaya berbahasa. Sama-sama
suku Jawa tapi punya bahasa yang relatif berbeda, meskipun ada beberapa yang
sama. Jogja dengan bahasa Jawa bakunya tentu semua orang sudah tahu, bahwa
bahasa Jawa mempunyai undha-usuk bahasa atau yang bisa diartikan sebagai
kesopanan dalam berbahasa. Dalam bahasa Jawa jogja, tuturan antar teman yang
semuran berbeda dengan tuturan antara seseorang kepada orang tua, meskipun
mungkin arti atau maksud dari tuturan tersebut sama. Bisa dilihat dari contoh
berikut, “wis mangan?” merupakan tuturan kepada teman sebaya. Tuturan tersebut
salah jika dituturkan kepada orang yang lebih tua atau yang punya jabatan
sosial yang lebih tinggi, tuturan yang benar adalah “sampun dhahar?”
Contoh
tuturan tersebut di atas jika dirasakan secara mendalam memang sangatlah
pantas, betapa kita harus menghormati lawan bicara kita khususnya lawan bicara
yang usianya sudah lebih tua atau kelas sosialnya lebih tinggi. Namun dilain
sisi sebagai orang yang asli dilahirkan dari lingkungan Tegal, serasa ada yang
janggal dari tuturan tersebut. Tindakan meninggikan lawan bicara tersebut
serasa membuat adanya jarak pemisah antara penutur dan lawan tutur. Berbeda dengan
tuturan bahasa Tegal yang tidak mempunyai tingkat tutur atau undha-usuk. Semua bahasa
ujar baik dituturkan kepada orang seumuran atau ke orang yang lebih tua
dituturkan dengan bahasa yang sama. Tidak ada pembeda. Hal ini membuat
pemakaian bahasa Tegal atau bahasa dialek seperti Banyumasan yang juga tidak
punya tingkat tutur serasa lebih demokratis tanpa membeda-bedakan umur ataupun
kasta dan kelas sosial. Komunikasi dengan menggunakan bahasa Tegal ataupun
Banyumasan lebih menumbuhkan nuansa kekeluargaan, keakraban, dan kelugasan yeng
lebih kental, daripada menggunakan bahasa Jawa Jogja yang dianggap sebagai
bahasa Jawa baku.
Tidak
ada pretensi bahwa bahasa ini lebih baik dari bahasa yang lain, ataupun
sebaliknya, karena sejatinya semua bahasa lahir dari masyarakat. Jadi asalkan
masyarakat menganggap suatu bahasa itu wajar, maka gunakanlah, sebaliknya jika
masyarakat tidak merasa cocok akan bahasa tersebut maka jangan gunakanlah. Dengan dasar paradigma dan konsep pluralisme,
semua bahasa punya derajat yang sama, hanya peran dan fungsi yang berbeda serta
intensitas dan efektivitas komunikasi pemakaiannya yang tidak sama.
0 komentar:
Post a Comment