Banyak
faktor yang menyebabkan itu, seperti sempitnya lapangan pekerjaan di Jawa yang
disertai dengan pertumbuhan penduduk yang sangat pesat, ada juga faktor
kebosanan pada pekerjaan di desa tidak ada variasinya selain berkebun atau
bertani. Selain faktor tersebut di atas, ada pula faktor pandangan hidup bahwa
kalau mau sukses itu kerja di kota.
Faktor yang terakhir
tadi merupakan faktor yang membuat semakin padatnya kota-kota besar khususnya
di Jawa, contohnya Jakarta, pandangan hidup bahwa sukses itu kerja di kota
telah membuat Jakarta menjadi kota yang sangat padat. Setiap tahunnya warga
dari pedesaan di Jawa datang berjubel-jubel menuju Jakarta untuk mencari
kesuksesan.
Jenuh dengan situasi
Jakarta yang semakin padat, beberapa masyarakat Jawa mengalihkan tujuan
perantauan mereka ke Bali. Bali merupakan sebuah daerah wisata terkenal di
dunia. Setiap tahunnya bali didatangi ribuan pelancong baik dari dalam maupun
luar negeri. Hal itulah yang dimanfaatkan masyarakat suku Jawa untuk merantau
ke Bali. Masayarakat Jawa di Bali menggantungkan pendapatannya melalui
pariwisata tersebut, seperti menjadi pedagang di tempat-tempat wisata, catering
dan juga pegawai dalam perhotelan.
Masyarakat Bali merupakan
masyarakat yang ramah bagi para perantau dari Jawa. Hal itu terjadi karena
masyarakat Bali menganggap bahwa orang-orang Jawa merupakan leluhur mereka. Seperti
yang dituturkan oleh Yusuf seorang mahasiswa perhotelan di salah satu universitas
swasta di Bandung yang sedang menjalani PKL di Bali. Yusuf yang merupakan
seorang Jawa yang sedang merantau di Bali ini mengatakan bahwa orang Bali
menghormati orang Jawa karena sejarahnya, “Sebelum datang kesini, saya sering
mendengar kalau orang Bali sangat menghormati orang Jawa, ternyata itu benar,”
ujar Yusuf. Yusuf yang asli Tegal Jawa Tengah ini lalu menceritakan kenapa hal
itu bisa terjadi, “Itu karena Jawa mempunyai kerajaan Majapahit yang dahulu
telah menyebarkan agama Hindhu di Bali,” tambah Yusuf. Agama Hindhu memang
merupakan agama yang dianut mayoritas warga Bali.
Yusuf yang saat ditemui
sedang berlibur di pantai Kuta dalam sela-sela PKL nya lalu menceritakan
kembali bahwa meskipun kerajaan Majapahit sekarang sudah tidak ada, beberapa
masyarakat Bali bahkan ada yang menganggap masyarakat Bali perlu berziarah ke
pulau Jawa khususnya daerah Blitar, Prambanan, dll. Jika dilihat dari sisi seni
ataupun aksaranya, anggapan bahwa orang Jawa merupakan leluhur masyarakat Bali
memang ada kemiripannya,seperti contoh kemiripan antara tari Barong dari Bali
dengan cerita Ramayana dari Jawa ataupun dari segi aksara, yaitu aksara Bali
sangat mirip dengan aksara Jawa hanya beda jumlahnya, aksara jawa punya 20
aksara sementara aksara Bali minus 2 yaitu dha
dan tha sehingga jumlahnya hanya 18 aksara.
Rasa kekerabatan itu
telah membuat para perantau asal Jawa di Bali hidup nyaman membaur dengan
masyarakat asli Bali. Hal seperti ini dialami oleh Pak Agus yang berasal dari
Jawa Timur, “Saya sudah jual bakso di Bali ini kurang lebih 3 tahunan,” tutur
Pak Agus dengan aksen medhok khas Jawa Timurannya. Pak Agus terpaksa merantau
ke Bali karena lapangan pekerjaan di Jawa sudah terlalu penuh. Beliau
menambahkan bahwa awalnya jualan bakso di Bali agak sepi, namun dengan semangat
pantang menyerah peenjualan baksonya semakin hari semakin lumayan, “Awalnya
jualan bakso di sini sepi, setelah berkeliling dari jalan satu ke jalan yang
lain, Alhamdulillah hasilnya lumayan,” tuturnya.
Yang menjadi andalan
bakso Pak Agus adalah ke halalannya, “ Ya, yang saya jual bakso halal,
alhumdulillah jadi saya kelilingnya di daerah perkampungan muslim kaya disini
ini jadi lumayan laris,” tambah Pak Agus yang saat itu sedang berjualan di
dekat Masjid di sekitar Universitas Udayana Fakultas Sastra yang kebetulan
lingkungannya adalah lingkungan muslim.
Strategi Pak Agus
dengan berjualan makanan halal juga dilakukan oleh Pasangan suami istri
Widodo-Sukini. Mereka merupakan warga perantau dari Jawa asli dari Wonogiri,
Jawa Tengah. Bahkan mereka merantau
sudah sejak tahun 1975. Sama halnya Pak
Agus, pasutri ini juga menjadi
wiraswasta dan membuka usaha menjadi pedagang bakso, warung bakso mereka diberi
nama sesuai nama sang suami yaitu “Bakso Widodo”.
Saat ditanya mengenai
kenapa pilihannya merantau di Bali, pak Widodo menjawab karena dahulu saat
pertama kali beliau akan merantau, daerah Bali belumlah ramai penjual makanan
seperti sekarang, seiring berjalannya waktu, Bali menjadi tempat yang sangat
terkenal dan ramai, omset penjualan bakso pak Widodo pun ikut meningkat.
Perantau Jawa di Bali
tidak hanya berjualan makanan, contohnya adalah Pak Akhmad. Pak Akhmad
merupakan PNS di sebuah sekolah negeri di Bali. Lelaki yang menemukan jodohnya
di perantauan ini menceritakan bahwa perantau asal Jawa di Bali kebanyakan
merupakan pedagang, “Meskipun saya disini PNS, tapi teman-teman saya
seperantauan disini dari Jawa kebanyakan pedagang,” terang Pak Akhmad. Pak
Akhmad lalu melanjutkan ceritanya tentang perantau asal Jawa di Bali. Pak
Akhmad menceritakan tentang kehidupan seorang temannya yang sangat menarik,
“Saya punya teman sesama dari Jawa bernama Sarfitri dan Bejo. Keduanya adalah
pasangan suami istri yang berasal dari Dusun Ngasinan Wetan, Wonoharjo,
Wonogiri, Jateng. Tiga tahun sudah mereka menikah dan belum dikaruniai seorang
anakpun. Kemudian keduanya memutuskan untuk merantau ke Pulau Dewata. Di Bali,
mereka bertempat tinggal di Denpasar, dan bekerja sebagai pedagang bakso ayam
dan mie ayam.” Pak Akhmad menambahkan bahwa cerita menariknya yaitu ada
pada cerita mereka yang belum dikaruniai anak, lalu sang istri diberitahu oleh
pemuka agama Hindu di daerah tempat tinggal mereka, agar pergi ke mata air
Sidadadi untuk berdoa supaya dikaruniai putra. Sebenarnya Sarfitri dan Bejo
adalah penganut agama Islam yang taat, tetapi karena inginnya mereka mempunyai
keturunan, akhirnya mereka menuruti anjuran tersebut. Sebenarnya selain
keinginan tersebut, mereka juga sudah berbaur dengan masyarakat Hindu yang
kental dengan budayanya yang sakral, sehingga hal seperti itupun dianggapnya
suci, karena masyarakat Jawa juga terdapat paham seperti itu. Akhirnya beberapa
bulan setelah mereka ke mata air Sidadadi dan beribadah meminta berkah dari
Allah SWT Sarfitri hamil dan kedua pasangan tersebut dikaruniai seorang anak.
Ada yang pegawai
negeri, ada juga yang merantau karena jadi pegawai PT. Beliau adalah Bapak Arif
Makmum yang asli dari Sleman, Yogyakarta. Pak Arif bekerja di PT. PLN, “Sudah
kurang lebih 1 tahun saya tugas disini, sebelumnya saya tugas di Sleman, lalu
dipindah kesini,” tutur pak Arif Makmum.
Tidak semua perantau
dari Jawa di Bali bertujuan untuk mencari penghidupan. Febi salah satunya. Febi
merupakan salah satu mahasiswa Universitas Udayana, Bali yang berasal dari
Jawa. Tentang pilihannya kenapa berkuliah di Bali, Febi menjawab kalau awalnya
merupakan iseng saja, “Aku sih awalnya iseng aja ndaftar kuliah disini, tapi
sekarang aku udah sadar kalau kuliahku ini bukan mainan,” tegas mahasiswa
jurusan Teknologi Industri Pertanian ini.
Perantau Jawa di Bali mungkin
tidak sebanyak Jakarta namun hampir ada di segala sektor, dari mulai pedagang,
PNS, pegawai PT, sampai mahasiswa yang sedang menempuh studi. Kendala utama
yang dirasakan para perantau Jawa di Bali adalah saat rasa rindu kepada
keluarga di rumah melanda, “Saya sering kangen orang rumah, kalau memang tidak
bisa pulang, biasanya saya menyempatkan diri untuk berlibur untuk sekedar
refresing menikmati panorama Bali,” cerita Pak Arif Makmum. Senada dengan Pak
Arif, Yusuf juga selalu menyempatkan sedikit waktu untuk berlibur jika rasa
rindu rumah melanda, “Kalau sedang rindu rumah ya seperti sekarang ini,
refresing ke pantai sama teman-teman,” terang Yusuf yang saat itu sedang
berlibur di pantai Kuta bersama teman-temannya.
Dari cerita para
perantau Jawa di Bali, sepertinya Bali cocok sebagai kota tujuan para perantau
dari Jawa selain Jakarta. Selain iklim masyarakat di Bali yang bersahabat, di
Bali juga belum sepadat Jakarta yang merupakan kota metropolitan yang menjadi
pusat dari segala kegiatan di negeri ini, tapi akan lebih baik mungkin kalau
tidak merantau, yaitu dengan tetap mengembangkan potensi daerah masing-masing.
Oleh:
1. Rita
Budi P.
2. Melisa
Yulianggara
3. Viandika
Indah S.
4. Endah
Pramita S.
5. Andri
Krisma D.
6. Akhmad
Fatkhul Amin
7. Priyana
8. Dewi
P.S.
9. Yunita
Anggun T.W.
10. Lisa
Dewi N.A.
11. Yeniar
Rahmah
12. Annas
Nurul F.
13. Fajar
Istiqomah
14. Lupita
A.
15. Endah
Yulistyaningsih
16. Hermanto
17. Chory
A.
18. Eko
Kurnia B.G.
TUGAS
JURNALISTIK JAWA
PARA PERANTAU JAWA DI BALI
Dosen : Dr.
Mulyana, M.Hum
Oleh:
Nama : KELOMPOK 1
Kelas : A
PENDIDIKAN BAHASA DAERAH
FAKULTAS BAHASA DAN SENI
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2011
0 komentar:
Post a Comment