-->

POJOK KORAN

Posted by . . .Kuliah Bahasa Jawa. . . on Sunday, January 15, 2012


A.    Pojok sebagai Jendela Pers
Pojok adalah salah satu rubrik yang ditempatkan atau diletakkan pada sudut kanan atas atau sudut kanan bawah, tetapi ada pula yang berposisi di bawah kiri atau kanan. Pojok ditulis oleh implikator surat kabar senior. Pojok diberi nama khusus, misalnya Rehat (Republika), Mang Usil (Kompas), Mat Cawang (Sinar Harapan), Si Kabayan (Pikiran Rakyat) dan sebagainya (Natawidjaya, 1986:126).
Menurut Naomi (1996:287) pojok merupakan jendelanya sebuah penerbitan. Pojok memiliki dua karakteristik, pertama, umumnya tidak punya kesan serius. Hal ini ditandai dengan simbol nama penulisnya. Kedua, pojok bisa menjadi siapa saja di antara kita. Pojok memiliki kesan sebagai suara pinggiran atau arus bawah sebuah Koran sebab ruangnya yang kecil, kebiasaan guyonnya, dan tema-tema tidak penting yang kadang diangkatnya. Bahkan di beberapa Koran ia benar-benar ―kaum pinggiran karena diletakkan persis di tepi bawah halaman dan tidak ada satu orang pun yang membeli koran hanya karena pojoknya –kecuali orang yang mempunyai tujuan tertentu, misalnya penelitian. Menurut Makkah (1977:34) penamaan pojok tampaknya disebabkan oleh penempatan rubrik ini di halaman surat kabar. Ruangan yang diberikan untuknya jauh lebih kecil dibandingkan dengan yang diberikan pada tajuk rencana, berita ataupun artikel lainnya. Pojok dengan tokohnya, seakan-akan seorang ―tukang gong‖ yang suka ―nyeletuk‖ dalam suatu pembicaraan ramai. Ia ―nyeletuk dari sudut ruangan, memancing perhatian. Omongannya sering nyelekit. Pojok berfungsi untuk menyentil sebuah peristiwa, kejadian atau kebijakan yang dijalankan oleh orang-orang penting. Cara penyampaiannya dalam bahasa humor, ulasan, tanggapan, dan kritikan.

B.     Pojok: Sebuah Bentuk Kritik Media Massa
Dalam konteks kesejarahan pers Indonesia, pojok telah hadir menghiasi koran Indonesia sejak zaman Belanda. Pojok merupakan khas pers Indonesia. Kehadiran rubrik ini merupakan sarana untuk melakukan kritik. Pojok dalam posisi ini relatif lebih aman dibandingkan rubrik-rubrik lain dalam sebuah koran. Pojok mencapai ―puncak kejayaannya pada masa Orde Lama. Edward Smith menyebut pojok sebagai cerminan liberalisme pers yang sempurna. Penyebutan itu lebih disebabkan oleh kebebasan kritik yang disampaikan pojok. Bahkan pojok menjadi ―medan perang yang ampuh antara berbagai kekuatan partai politik di masa Orde Lama. Pada tahun 1964 pernah terjadi ―perang pojok antara Merdeka, Suluh Indonesia, dan Bintang Timur. Masing-masing berperang sesuai dengan aliansi politiknya. Pada awal Orde Lama, pojok sempat diberangus karena berbagai kritik tajam yang disampaikannya. Demikian pula pojok sering bernada mengadu domba dan menghantam kelompok lain. Hal ini terjadi karena selama ini nyaris tidak ada aturan ―yang baik dan sopan dalam penulisan pojok.

Dalam hal ini Makkah (1977:33) menulis : Pada saat kita memulai melengkapi kultur bangsa dengan mengenal media massa sebagai sarana komunikasi, surat kabar-surat kabar berbahasa Indonesia terbit di  zaman Belanda, senantiasa memuat tulisan pendek di satu sudut halamannya yang selama mendapat perhatian pembaca. Rubrik kecil di sudut yang mengandung kritik ini –yang boleh jadi tercipta untuk melawan kolonial—diteruskan pada zaman pendudukan Jepang, dan berlanjut hingga sekarang. Isinya senantiasa kritik. Kadang-kadang pedas, tempo-tempo halus tetapi menusuk. Rubrik dengan ciri sinis dan lucu ini, akhirnya lebih popular dengan sebutan pojok. Ia dianggap khas pers Indonesia. Bahwa ia mendapat perhatian pembaca, terbukti dengan lahirnya ―memojoki beberapa tahun yang silam, yang berarti ―menuliskan di ruangan pojok. Dengan demikian, pojok dapat dikatakan sebagai perwujudan idealisme pers. Pers Indonesia menurut Herawati Diah (1997) bukan dunia kepanduan dengan nyanyian di sini senang di sana senang. Jurnalisme yang ―diayun ke sini dan ke sana masih tetap senang‖. Itulah jurnalisme industrial yang berorientasi pada profit dan tidak peduli pada idealisme dan komitmen jurnalisme itu sendiiri: pers bebas, masyarakat demokratis, dan penegakkan hak azasi manusia.
Pendapat senada disampaikan Ashadi Siregar (1993) bahwa bisnis pers akan semakin meningkat tetapi secara institusi sama sekali tidak, sebab jurnalisme kita ternyata tidak mampu menangkap secara total fakta yang ada dan tidak semua realitas menjadi informasi. Yang menjadi realitas justru diubah menjadi komoditi. Banyak informasi hanya menyentuh secara psikologis, tetapi tidak mengungkap realitas dalam berbagai dimensi. Berkaitan dengan kritik pojok, penelitian Naomi (1996:229) yang membandingkan antara kritik pojok Kompas dengan pojok Suara Karya menarik untuk disimak.
VARIABEL PENELITIAN
KOMPAS
SUARA KARYA
Fungsi pojok
Kritik
Kritik
Bidang yang dikritik
Sosial budaya
Sosial budaya
Nada kritik politik
Netral
Kritis
Sasaran kritik
Masyarakat
Negara
Cara menyamarkan kritik
Ironi dan humor
Humor
Sumber: Naomi. (1996). Anjing Penjaga. Jakarta: Gorong-Gorong Budaya.

C.    Pojok: Ragam Bahasa Jurnalistik
Menurut penggolongan variasi bahasa, Chaer dan Agustina (1995:84) dari sudut pemakaian bahasa, ragam bahasa jurnalistik termasuk ragam sosiolek, yakni ragam bahasa yang dipakai pada suatu kelompok masyarakat dan profesi tertentu. Ragam jurnalistik juga bisa dikelompokkan ke dalam ragam berdasarkan aspek pemakaian bahasa secara fungsional atau profesi (Bawa: 1996:128). Ragam bahasa jurnalistik memiliki ciri-ciri yaitu bersifat sederhana, komunikatif, dan ringkas. Sederhana karena harus dipahami secara mudah; komunikatif karena jurnalistik harus menyampaikan berita yang tepat; dan ringkas karena keterbatasan ruang (dalam media cetak) dan keterbatasan waktu (dalam media elektronik). Dalam ragam bahasa jurnalistik awalan me- dan di- sering ditanggalkan, yang dalam penulisan berbahasa baku harus digunakan (Chaer dan Agustina, 1995:90-91).
Menurut Hassanudin (1992:50-55) ragam bahasa jurnalistik memiliki ciir-ciri: 1) lugas, tidak ambigu, 2) sederhana, lazim dan umum, 3) singkat dan padat, 4) sistematik dalam penyajian, 5) berbahasa netral dan tidak memihak, 6) menarik, 7) kalimatnya pendek, 8) bentuk kalimatnya aktif, dan 9) penggunaan kalimat positif. Lugas artinya bahasa yang dipergunakan secara langsung pada sasaran makna yang ingin diungkapkan. Wartawan harus menghindarkan penggunaan bahasa yang kemungkinan akan mempunyai banyak tafsir. Sederhana berarti menggunakan bahasa yang sudah lazim dan diketahui masyarakat umum. Singkat dan padat disajikan karena media massa memiliki keterbatasan ruang. Sistematis berarti penyajiannya harus kronologis, menyajikan keteraturan peristiwa dalam penulisan berita. Berbahasa netral berarti demokratis, tidak membeda-bedakan sumber berita. Harus menarik karena surat kabar dikonsumsi untuk dibaca masyarakat. Kalimatnya pendek dimaksudkan agar pokok persoalan yang diungkapkan segera dapat dimengerti pembaca. Bentuk kalimatnya pasif agar berita lebih menarik dan terasa hidup. Penggunaan bahasa positif karena bahasa positif lebih diminati dibandingkan kalimat negatif. Ragam bahasa pojok menurut Natawidjaja (1986:126) ditandai oleh sifat-sifat: 1) santai, 2) baku, 3) campuran bahasa baku dengan bahasa dialek atau bahasa daerah, 4) bahasa Betawi umumnya dipakai sebagai bahasa pojok dengan ciri dialek: lho, rikuh, dong, cihuy, gimane, dan sebagainya. Pojok dibentuk melalui empat pola, yakni kejadian-kritik, komentar-kritik, komentar-ulasan, dan kejadian-komentar.
Pojok sebagai karikatur yang melulu berisi kata-kata, pada hakikatnya lahir dengan sifat kritisnya, melalui gaya penyampaian yang menusuk, tetapi tak perlu mengundang orang naik darah. Inilah yang membuat pojok tidak mungkin ditulis sembarang orang, kecuali dia memiliki kemampuan bermain kata yang sinis dan humoris. Pojok dengan sifat lucunya, jelas tidak sama dengan tajuk rencana yang serius, baik yang informative maupun yang argumentative. Untuk memberikan informasi maupun atas pertanyaan ―apa artinya itu?‖, tajuk rencana ditulis panjang. Bahasa yang dipakai untuk berargumentasi membuat penulisan tajuk lebih meluas. Pojok tidak demikian adanya (Makkah, 1977:35). Cara penulisan yang tepo saliro yang kadangkala mengambang itu ternyata lebih disukai atau lebih mengena dengan selera pejabat kita. Kritik gamlang dan blak-blakan sering ditafsirkan provokatif dan menghasut ketimbang apa yang disebut kritik konstruktif. Fenomena menarik bahwa bahasa yang bernada tenggang rasa sering kali lebih mengenai sasaran. Ini mungkin disebabkan budaya yang sangat alergi terhadap kritik terbuka, meskipun sangat diutamakan kejujuran dan lebih bisa menghayati bahasa madu yang beracun itu (Aly, 1986:8).

D.     KESIMPULAN
Pojok sebagai jendela pers dan simbol liberalisasi pers mempunyai peran kritik sosial yang sangat penting dalam menunjukkan keberpihakan dan sikap sebuah media. Krtiik pojok disampaikan dalam ragam bahasa yang bervariasi. Ragam bahasa ini bahkan menentukan tingkat kritis sebuah pojok. Pojok yang kritis biasanya disampaikan dalam bahasa yang cenderung tidak baku, penuh gaya humor dan menggunakan kosakata campuran. Sebaliknya, pojok yang baku cenderung tidak menarik dan tidak kritis. Tingkat kritis pojok ditentukan oleh visi dan keberanian media untuk mengungkapkan realitas sosial. Secara umum ketidakkritisan media massa, termasuk dalam penulisan pojok, lebih disebabkan ―ketakutan‖ pers terhadap badai yang akan diterima dari kritiknya tersebut, terutama pencabutan SIUUP.
Sekalipun humor sesuai dengan karakter bangsa Indonesia, dalam konteks kritik yang disajikan dalam pojok, para jurnalis pada umumnya masih belum mampu mengaktualisasikan humor dalam bahasa pojok. Masalahnya, humor yang menarik harus juga memiliki tingkat kritis yang tinggi. Menulis pojok yang penuh humor tetap membutuhkan keberanian dan daya kritis yang tinggi.
Pojok dalam konteks pers yang terkekang ini sedikit bisa bernafas karena posisinya yang ―terpojok‖ dan tidak mendapatkan perhatian banyak orang. Pojok telah menjelma menjadi ―rubrik hiburan‖ bagi para pembaca koran. Oleh karena itu, pojok di zaman Orde Baru hampir tidak pernah mendapatkan hambatan sekeras apapun isinya. Hampir seluruh pemberangusan koran di zaman Orde Baru bukan disebabkan kritik yang disampaikan melalui pojok. Pojok masih dianggap ―olok-olok‖ media terhadap berbagai pihak yang dikritiknya dan posisinya tetap aman. Namun demikian, pojok merupakan model jurnalisme sisa-sisa pemberangusan penguasa otoriterian. Sekalipun sisa pemberangusan, pojok masih memberikan nuansa dan warna khas jurnalisme Indonesia.

DAFTAR PUUSTAKA
Makah, Masmimar. (1977). ―Pojok‖ Sebagai Penyalur Kritik‖. Prisma No. 10 Oktober 1977, Tahun VI.
Naomi, Omi Intan. (1996). Anjing Penjaga, Pers di Rumah Orde Baru. Jakarta: Gorong-Gorong Budaya.

Previous
« Prev Post

Related Posts

5:52 AM

0 komentar:

Post a Comment