Istilah
wacana berasal dari bahasa Sansekerta wac/wak/vak, artinya ‘berkata’, ‘berucap’
(Douglas, 1976:266). Kata tersebut termasuk kata kerja golongan III yang
bersifat aktif, yaitu ‘melakukan tindakan ujar’. Bentuk ana yang muncul
dibelakang adalah sufiks (akhiran), yang bermakna membendakan (nominalisasi).
Jadi kata wacana dapat idartikan sebagai ‘perkataan’ atau ‘tuturan’.
Analisis wacana
merupakan disiplin ilmu yang mengkaji satuan bahasa di atas tataran kalimat
dengan memperhatikan konteks pemakaian bahasa tersebut. Dalam analisis wacana
terdapat metodologi yang operasional dan fungsional bagi prakteknya. Metode analisis wacana merupakan teknik yang
digunakan untuk menganalisis wacana sesuai dengan tujuan analisis. Ada pun
metode analisis wacana terbagi menjadi empat, yaitu metode distribusional,
metode pragmatik, metode konten analisis, dan metode metode deskriptif.
Metode yang digunakan dalam analisis wacana kali ini adalah metode
analisis konten. Metode analisis konten (content
analysis) atau analisis isi digunakan untuk menganalisis isi dari suatu
wacana. Analisis konten sensitif terhadap konteks (Krippendorff, 1980: 15), dan
karenanya dapat untuk memproses bentuk-bentuk simbolik. Data-data berupa
kalimat, paragraf, atau keseluruhan wacana dapat dianalisis dengan
memperhatikan dan memformulasikan pada konteks (tempat, waktu, dan situasi
berlakunya suatu peristiwa) yang melingkupi data tersebut.
Analisis konten memiliki dua tujuan (Carney, 1972: 45), yaitu tujuan
deskriptif (mendiskripsikan struktur dan isi wacana) dan tujuan inferensial
(menginferensikan atau membuat kesimpulan suatu maksud dan akibat dipakainya
sebuah wacana).
Objek kajian dalam analisis wacana adalah ini wacana
dalam bidang
pewayangan. Wacana-wacana dibidang pewayangan ini jika berdasarkan media
penyimpanannya, tergolong dalam wacana lisan. Hal ini disebabkan karena wacana
dibidang pewayangan muncul dari percakapan setiap tokoh wayang yang dimainkan
oleh dalang disetiap pagelaran wayang.
Didalam
setiap pertunjukan wayang khususnya wayang kulit, pasti ada komponen pakeliran
yang berupa tuturan. Komponen berupa tuturan ini seperti janturan, suluk,
ada-ada, kawin, dll. Berikut merupakan wacana-wacana mentah yang masih umum
yang berbentuk wacana lisan yang berupa komponen tuturan yang terdapat pada
suatu pagelaran wayang dan dikaji dengan metode analisis konten :
1. Brêkencong warudhongyong lud-olud
hok
secara konteks kalimatnya, kalimat ini selalu disampaikan oleh Batara Narendra
sebelum atau sesudah berbicara tanpa maksud apa-apa. Kalimat ini hanya
merupakan aksen khas bila terdengar kalimat seperti itu dalam sebuah pagelaran
wayang berarti penonton sudah bisa langsung mengenali tokoh tersebut tanpa
harus melihat wujudnya.
2. O blêgudhug monyor-monyor êmprit
gantil buntuté sêlikur lolé lolé. Secara etimologi
katanya, kalimat ini tidak mempunyai arti yang jelas, hanya beberapa yang bisa
dilacak maknanya, seperti kata êmprit gantil buntuté sêlikur ‘burung
emprit ekornya dua puluh satu’, dan kata monyor-monyor
‘menunjuk sesuatu yang mengembang’. Jika secara konteks kalimatnya, kalimat ini
selalu diungkapkan oleh Pendeta Durna yang biasa disampaikan di awal atau akhir
tuturan, sebagai cetusan rasa yang tidak pasti.
3. Oé lah dalah ih ih ah èh èh èh
adalah ekspresi rasa tertentu. Dalam konteksnya, ekspresi ini merupakan
ekspresi tertawa yang hanya dimiliki oleh Semar
4. Wa wééé wong tuwa jé dièrèd-èrèd ah
èh èh adalah ekspresi rasa tertentu, yang dalam
konteksnya merupakan ekspresi rasa tidak senang yang hanya diucapkan oleh
Semar.
5. Hé hih hih hih bêgêgêg ugêg ugêg
sadulita humêl humêl, hééé é, hé hé hè hè toblas toblas, hé ééé juga
merupakan kalimat khas yang hanya diucapkan semar. Namun, kalimat ini tidak
menunjukan arti yang jelas, hanya merupakan ungkapan kata-kata khas
kebiasaannya, sementara kalau dipenggal per-katanya, hanya bêgêgêg ugêg ugêg
yang memiliki arti yaitu diam.
6. Èhèk èhèk cêgir lênthêng,
merupakan idiolek yang biasa diucapkan oleh tokoh Cantrik. Kalimat tersebut
tidak menunjukan makna yang jelas, hanya digunakan sebagai identitas atau
penanda, jika terdengar suara kalimat tersebut berarti tokoh Cantrik sedang
terlibat didalamnya.
7. Hong ajualadi sang hayu palungguhan
ulun
merupakan gaya atau kebiasaan tuturan awal yang diucapkan oleh Batara Guru pada
penghadapan. Kalimat ini menggunakan bahasa Jawa Kuna yang artinya kurang lebih
‘dengan menyebut Sang Pencipta akan selamat kedudukanku.’ Ungkapan ini diucapkan
oleh Batara Guru agar dirinya selalu ingat kepada Sang Pencipta sehingga tidak
akan melanggar aturannya dalam rangka jabatannya sebagai pemimpin.
8. wé hu hu hu hé hé hé dan Wah hah
haha
merupakan gaya tertawa-tawayang menjadi tuturan khas tokoh wayang Dursasana.
Gaya tertawa ini digunakan dalam segala situasi baik resmi maupun tidak resmi,
dan dalam keadaan apapun baik senang atau marah. Tertawa seperti ini juga
dipakai oleh tokoh Kartadhênta dan Durmagati, yang membedakan adalah suaranya
yang biasa dimainkan oleh dalang.
9. Brêkéncong-brêkéncong pak pak pong
buk bolong waru dhoyong digêdhor nguwong kali Codhé sapa sing gawé.
Adalah tuturan tokoh wayang yang biasa diucapka oleh golongan kelas sosial
tinggi, dalam hal ini misalnya kalimat tersebut diungkapkan oleh dewa, raja
tetua, dll. Cirinya dalam kalimat tersebut misalnya kata kita ‘kamu’ sebagai
sapaan terhadap orang kedua dan ulun ‘aku’ sebutan bagi para dewa.
10. Bumi gonjang-ganjing, langit
kelap-kelap merupakan kalimat yang diungkapkan
dalang saat beliau hendak mengeluarkan atau memainkan tokoh Gathotkaca. Maksud
dari ungkapan itu adalah berkaitan dengan kehebatan kekuatan yang dimiliki oleh
tokoh Gathotkaca sehingga setiap kedatangannya bumi seakan bergetar dan langit
kelap-kelip oleh kekuatannya.
11. Woyo-woyo joss!
Merupakan ekspresi yang biasa diungkapkan oleh dalang saat bernyanyi atau
nembang dan lagu yang dinyanyikan memasuki bagian intro atau bagian disaat
musik gamelan bersuara kencang tanpa ada lirik yang dinyanyikan oleh dalang.
Tidak jelas makna atau maksud dari ungkapan ini, namun dari nada suuara dalang
ketika mengungkapkan kalimat ini dengan nada keras setengah teriak penuh dengan
semangat, bisa dimaksudkan kalimat ini merupakan tanda penyemangat kepada para
penonton agar tidak mengantuk.
12. Buka sithik joss!
Secara makna katanya, kalimat ini mempunyai arti ‘dibuka sedikit’, namun jika
ungkapan ini diutarakan sama seperti ungkapan Woyo-woyo joss! yaitu saat dalang bernyanyi atau nembang dan lagu
yang dinyanyikan memasuki bagian intro atau bagian disaat musik gamelan
bersuara kencang tanpa ada lirik yang dinyanyikan oleh dalang, makna kalimat
ini menjadi tidak jelas, apanya yang dibuka sedikit? Jadi bisa saja sama halnya
Woyo-woyo joss!, dari nada suuara
dalang ketika mengungkapkan kalimat ini dengan nada keras setengah teriak penuh
dengan semangat, bisa dimaksudkan kalimat ini merupakan tanda penyemangat
kepada para penonton agar tidak mengantuk.
13. Hong ilahèng bawana langgê hyang
suksma adilinuwih, merupakan kalimat dari bahasa Jawa
Kuna yang menjadi gaya khas tuturan awal yang diucapkan oleh Krêsna. Dalam
konteksnya, kalimat ini mempunyai makna kurang lebih ‘manusia untuk tetap patuh
pada norma dan jangan sampai melanggar aturan agar dunia tentram dan indah.
Krêsna sebagai jelmaan dewa Wisnu pantas mengucapkan kalimat ini karena ia
adalah tokoh penjaga kedamaian.
14. É é jagad déwa bathara ya jagad
pramundita. Kalimat ini merupakan gaya tuturan diawal yang selalu
diungkapkan Baladewa pada situasi resmi atau formal. Dalam konteksnya, maksud
ungkapan ini adalah cetusan rasa terhadap keagungan sang Pencipta.
15. Uit clala la la la la la la
merupakan kata seru sebagai luapan rasa yang tidak ada artinya. Dalam kontesnya,
ungkapan ini hanya sebagai gaya khas atau juga sebagai tanda rasa percaya diri
tokoh cakil saat bertemu dan bertutur dengan satria yang dijumpainya di hutan
menjelang berperang.
16. Hong mangarcånå maya sidhi sêkaring
bawånå langgêng merupakan ungkapan yang biasa diucapkan
oleh tokoh Kanwa. Dalam konteksnya, ungkapan ini menggunakan bahasa Jawa Kuna
yang bermakna ‘mengagungkan kebesaran dan kesempurnaan tokoh utama (Sang
Pencipta) dunia abadi.’ Hal ini bisa terjadi karena Kanwa merupakan seorang
tokoh rohaniawan yang dalam berbicara selalu mengaitkannya dengan Sang
Pensipta.
No. 11 dan 12 hanya diucapkan oleh dalang modern aja..tidak indah blas..
ReplyDelete