Nguri-uri budoyo atau dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi “melestarikan budaya Jawa” tentu mutlak dilakukan.
Sebagian orang beranggapan bahwa budaya kuno identik dengan masa lalu yang tidak bagus atau tidak bermutu sehingga patut ditinggalkan.
Pandangan seperti itu tentu tidak dapat dibenarkan. Sebab banyak hal positif yang bisa didapat dari budaya kuno.
Keberadaan Kampoeng Djowo Sekatul yang terletak di Desa Margosari, Kecamatan Limbangan, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah, merupakan salah satu upaya untuk nguri-uri (melestarikan) kebudayaan Jawa yang adiluhung.
Adalah pemilik sekaligus penggagas berdirinya Kampoeng Djowo Sekatul, KPH Herry Djojonegoro, yang tetap berkomitmen untuk melestarikan budaya Jawa dengan memanfaatkannya. Untuk membangun kawasan wisata itu, Herry mendatangkan bangunan-bangunan joglo dari sejumlah daerah di Jawa Tengah. Konon, bangunan-bangunan itu sangat lekat dengan kesejarahan.
Joglo Lanang, bangunan yang didirikan pada 1999, misalnya, merupakan eks pendopo Kadipaten Mbagan di Lasem, Kabupaten Rembang, dan direnovasi menjadi Ndalem Bagan. Bangunan itu menjadi koleksi pertama di Kampoeng Djowo Sekatul.
Pada 2000, Joglo Lanang kemudian dilengkapi dengan rumah Wadon. Rumah ini dipercaya sebagai bekas rumah Mpu Baradha yang amat terkenal pada abad X dan diambil dari perbatasan Blora dan Ngawi, tepatnya di Desa Tlogo Tuwung, Dukuh Nogososro, yang dinamakan Ndalem Baradha.
Selanjutnya, pada 2003, di Desa Tuban, Kecamatan Keling, Kabupaten Jepara, ditemukan joglo lain yang dinamakan Ndalem Bonokeling.
Untuk melengkapi dan menambah joglo yang ada di kawasan itu, pada 2005, didirikan Joglo Pandang atau Sasono Hondrowino yang dibawa dari Kabupaten Pati.
”Kampoeng Djowo Sekatul tidak hanya menyuguhkan joglo klasik yang masih terpelihara keasliannya, namun juga menjadi bukti kesetiaan pemilik KPH Herry Djojonegoro pada sejarah,” Kata Elly Rusmilawati, Humas Kampoeng Djowo Sekatul.
Suasana yang sangat kental dengan budaya Jawa membuat Kampoeng Djowo Sekatul menjadi tempat yang tepat untuk olah roso, nglaras, dan roso menep, sarana penyatuan diri untuk lebih dekat dengan alam yang memberikan simbol membuka nurani dan menemukan jati diri menuju jalan selamat.
Kampoeng Djowo Sekatul memang diciptakan untuk erat dengan filosofi Jawa, yaitu mampu membangkitkan ide-ide cemerlang dan bermanfaat, ditemani hamparan sawah yang permai, kehidupan desa dan petani yang sederhana dan bersahaja, juga gemercik air dan anggunnya aliran sungai serta udara yang sejuk dan pepohonan hijau. Sangat dekat dengan kehidupan alam yang penuh harmoni.
(SM/L-4)(www.koran-jakarta.com)
Nguri-uri budoyo atau dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi “melestarikan budaya Jawa” tentu mutlak dilakukan.
Sebagian orang beranggapan bahwa budaya kuno identik dengan masa lalu yang tidak bagus atau tidak bermutu sehingga patut ditinggalkan.
Pandangan seperti itu tentu tidak dapat dibenarkan. Sebab banyak hal positif yang bisa didapat dari budaya kuno.
Keberadaan Kampoeng Djowo Sekatul yang terletak di Desa Margosari, Kecamatan Limbangan, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah, merupakan salah satu upaya untuk nguri-uri (melestarikan) kebudayaan Jawa yang adiluhung.
Adalah pemilik sekaligus penggagas berdirinya Kampoeng Djowo Sekatul, KPH Herry Djojonegoro, yang tetap berkomitmen untuk melestarikan budaya Jawa dengan memanfaatkannya. Untuk membangun kawasan wisata itu, Herry mendatangkan bangunan-bangunan joglo dari sejumlah daerah di Jawa Tengah. Konon, bangunan-bangunan itu sangat lekat dengan kesejarahan.
Joglo Lanang, bangunan yang didirikan pada 1999, misalnya, merupakan eks pendopo Kadipaten Mbagan di Lasem, Kabupaten Rembang, dan direnovasi menjadi Ndalem Bagan. Bangunan itu menjadi koleksi pertama di Kampoeng Djowo Sekatul.
Pada 2000, Joglo Lanang kemudian dilengkapi dengan rumah Wadon. Rumah ini dipercaya sebagai bekas rumah Mpu Baradha yang amat terkenal pada abad X dan diambil dari perbatasan Blora dan Ngawi, tepatnya di Desa Tlogo Tuwung, Dukuh Nogososro, yang dinamakan Ndalem Baradha.
Selanjutnya, pada 2003, di Desa Tuban, Kecamatan Keling, Kabupaten Jepara, ditemukan joglo lain yang dinamakan Ndalem Bonokeling.
Untuk melengkapi dan menambah joglo yang ada di kawasan itu, pada 2005, didirikan Joglo Pandang atau Sasono Hondrowino yang dibawa dari Kabupaten Pati.
”Kampoeng Djowo Sekatul tidak hanya menyuguhkan joglo klasik yang masih terpelihara keasliannya, namun juga menjadi bukti kesetiaan pemilik KPH Herry Djojonegoro pada sejarah,” Kata Elly Rusmilawati, Humas Kampoeng Djowo Sekatul.
Suasana yang sangat kental dengan budaya Jawa membuat Kampoeng Djowo Sekatul menjadi tempat yang tepat untuk olah roso, nglaras, dan roso menep, sarana penyatuan diri untuk lebih dekat dengan alam yang memberikan simbol membuka nurani dan menemukan jati diri menuju jalan selamat.
Kampoeng Djowo Sekatul memang diciptakan untuk erat dengan filosofi Jawa, yaitu mampu membangkitkan ide-ide cemerlang dan bermanfaat, ditemani hamparan sawah yang permai, kehidupan desa dan petani yang sederhana dan bersahaja, juga gemercik air dan anggunnya aliran sungai serta udara yang sejuk dan pepohonan hijau. Sangat dekat dengan kehidupan alam yang penuh harmoni.
(SM/L-4)(www.koran-jakarta.com) . . .Kuliah Bahasa Jawa. . . 5:43 PM CB Blogger Indonesia
Sebagian orang beranggapan bahwa budaya kuno identik dengan masa lalu yang tidak bagus atau tidak bermutu sehingga patut ditinggalkan.
Pandangan seperti itu tentu tidak dapat dibenarkan. Sebab banyak hal positif yang bisa didapat dari budaya kuno.
Keberadaan Kampoeng Djowo Sekatul yang terletak di Desa Margosari, Kecamatan Limbangan, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah, merupakan salah satu upaya untuk nguri-uri (melestarikan) kebudayaan Jawa yang adiluhung.
Adalah pemilik sekaligus penggagas berdirinya Kampoeng Djowo Sekatul, KPH Herry Djojonegoro, yang tetap berkomitmen untuk melestarikan budaya Jawa dengan memanfaatkannya. Untuk membangun kawasan wisata itu, Herry mendatangkan bangunan-bangunan joglo dari sejumlah daerah di Jawa Tengah. Konon, bangunan-bangunan itu sangat lekat dengan kesejarahan.
Joglo Lanang, bangunan yang didirikan pada 1999, misalnya, merupakan eks pendopo Kadipaten Mbagan di Lasem, Kabupaten Rembang, dan direnovasi menjadi Ndalem Bagan. Bangunan itu menjadi koleksi pertama di Kampoeng Djowo Sekatul.
Pada 2000, Joglo Lanang kemudian dilengkapi dengan rumah Wadon. Rumah ini dipercaya sebagai bekas rumah Mpu Baradha yang amat terkenal pada abad X dan diambil dari perbatasan Blora dan Ngawi, tepatnya di Desa Tlogo Tuwung, Dukuh Nogososro, yang dinamakan Ndalem Baradha.
Selanjutnya, pada 2003, di Desa Tuban, Kecamatan Keling, Kabupaten Jepara, ditemukan joglo lain yang dinamakan Ndalem Bonokeling.
Untuk melengkapi dan menambah joglo yang ada di kawasan itu, pada 2005, didirikan Joglo Pandang atau Sasono Hondrowino yang dibawa dari Kabupaten Pati.
”Kampoeng Djowo Sekatul tidak hanya menyuguhkan joglo klasik yang masih terpelihara keasliannya, namun juga menjadi bukti kesetiaan pemilik KPH Herry Djojonegoro pada sejarah,” Kata Elly Rusmilawati, Humas Kampoeng Djowo Sekatul.
Suasana yang sangat kental dengan budaya Jawa membuat Kampoeng Djowo Sekatul menjadi tempat yang tepat untuk olah roso, nglaras, dan roso menep, sarana penyatuan diri untuk lebih dekat dengan alam yang memberikan simbol membuka nurani dan menemukan jati diri menuju jalan selamat.
Kampoeng Djowo Sekatul memang diciptakan untuk erat dengan filosofi Jawa, yaitu mampu membangkitkan ide-ide cemerlang dan bermanfaat, ditemani hamparan sawah yang permai, kehidupan desa dan petani yang sederhana dan bersahaja, juga gemercik air dan anggunnya aliran sungai serta udara yang sejuk dan pepohonan hijau. Sangat dekat dengan kehidupan alam yang penuh harmoni.
(SM/L-4)(www.koran-jakarta.com) . . .Kuliah Bahasa Jawa. . . 5:43 PM CB Blogger Indonesia
Bagian dari “Nguri-uri” Budaya Jawa
Posted by . . .Kuliah Bahasa Jawa. . . on Thursday, July 15, 2010
Previous
« Prev Post
« Prev Post
Next
Next Post »
Next Post »
0 komentar:
Post a Comment