-->
Iklan

Kajian Wacana dalam Wayang dengan Metode Analisis Konten

Posted by . . .Kuliah Bahasa Jawa. . . on Saturday, January 7, 2012


Istilah wacana berasal dari bahasa Sansekerta wac/wak/vak, artinya ‘berkata’, ‘berucap’ (Douglas, 1976:266). Kata tersebut termasuk kata kerja golongan III yang bersifat aktif, yaitu ‘melakukan tindakan ujar’. Bentuk ana yang muncul dibelakang adalah sufiks (akhiran), yang bermakna membendakan (nominalisasi). Jadi kata wacana dapat idartikan sebagai ‘perkataan’ atau ‘tuturan’.
Analisis wacana merupakan disiplin ilmu yang mengkaji satuan bahasa di atas tataran kalimat dengan memperhatikan konteks pemakaian bahasa tersebut. Dalam analisis wacana terdapat metodologi yang operasional dan fungsional bagi prakteknya. Metode analisis wacana merupakan teknik yang digunakan untuk menganalisis wacana sesuai dengan tujuan analisis. Ada pun metode analisis wacana terbagi menjadi empat, yaitu metode distribusional, metode pragmatik, metode konten analisis, dan metode metode deskriptif.
Metode yang digunakan dalam analisis wacana kali ini adalah metode analisis konten. Metode analisis konten (content analysis) atau analisis isi digunakan untuk menganalisis isi dari suatu wacana. Analisis konten sensitif terhadap konteks (Krippendorff, 1980: 15), dan karenanya dapat untuk memproses bentuk-bentuk simbolik. Data-data berupa kalimat, paragraf, atau keseluruhan wacana dapat dianalisis dengan memperhatikan dan memformulasikan pada konteks (tempat, waktu, dan situasi berlakunya suatu peristiwa) yang melingkupi data tersebut.
Analisis konten memiliki dua tujuan (Carney, 1972: 45), yaitu tujuan deskriptif (mendiskripsikan struktur dan isi wacana) dan tujuan inferensial (menginferensikan atau membuat kesimpulan suatu maksud dan akibat dipakainya sebuah wacana).

Objek kajian dalam analisis wacana adalah ini wacana dalam bidang pewayangan. Wacana-wacana dibidang pewayangan ini jika berdasarkan media penyimpanannya, tergolong dalam wacana lisan. Hal ini disebabkan karena wacana dibidang pewayangan muncul dari percakapan setiap tokoh wayang yang dimainkan oleh dalang disetiap pagelaran wayang.
Didalam setiap pertunjukan wayang khususnya wayang kulit, pasti ada komponen pakeliran yang berupa tuturan. Komponen berupa tuturan ini seperti janturan, suluk, ada-ada, kawin, dll. Berikut merupakan wacana-wacana mentah yang masih umum yang berbentuk wacana lisan yang berupa komponen tuturan yang terdapat pada suatu pagelaran wayang dan dikaji dengan metode analisis konten :
1.      Brêkencong warudhongyong lud-olud hok secara konteks kalimatnya, kalimat ini selalu disampaikan oleh Batara Narendra sebelum atau sesudah berbicara tanpa maksud apa-apa. Kalimat ini hanya merupakan aksen khas bila terdengar kalimat seperti itu dalam sebuah pagelaran wayang berarti penonton sudah bisa langsung mengenali tokoh tersebut tanpa harus melihat wujudnya.
2.      O blêgudhug monyor-monyor êmprit gantil buntuté sêlikur lolé lolé. Secara etimologi katanya, kalimat ini tidak mempunyai arti yang jelas, hanya beberapa yang bisa dilacak maknanya, seperti kata  êmprit gantil buntuté sêlikur ‘burung emprit ekornya dua puluh satu’, dan kata monyor-monyor ‘menunjuk sesuatu yang mengembang’. Jika secara konteks kalimatnya, kalimat ini selalu diungkapkan oleh Pendeta Durna yang biasa disampaikan di awal atau akhir tuturan, sebagai cetusan rasa yang tidak pasti.
3.      Oé lah dalah ih ih ah èh èh èh adalah ekspresi rasa tertentu. Dalam konteksnya, ekspresi ini merupakan ekspresi tertawa yang hanya dimiliki oleh Semar
4.      Wa wééé wong tuwa jé dièrèd-èrèd ah èh èh adalah ekspresi rasa tertentu, yang dalam konteksnya merupakan ekspresi rasa tidak senang yang hanya diucapkan oleh Semar.
5.      Hé hih hih hih bêgêgêg ugêg ugêg sadulita humêl humêl, hééé é, hé hé hè hè toblas toblas, hé ééé juga merupakan kalimat khas yang hanya diucapkan semar. Namun, kalimat ini tidak menunjukan arti yang jelas, hanya merupakan ungkapan kata-kata khas kebiasaannya, sementara kalau dipenggal per-katanya, hanya bêgêgêg ugêg ugêg yang memiliki arti yaitu diam.
6.      Èhèk èhèk cêgir lênthêng, merupakan idiolek yang biasa diucapkan oleh tokoh Cantrik. Kalimat tersebut tidak menunjukan makna yang jelas, hanya digunakan sebagai identitas atau penanda, jika terdengar suara kalimat tersebut berarti tokoh Cantrik sedang terlibat didalamnya.
7.      Hong ajualadi sang hayu palungguhan ulun merupakan gaya atau kebiasaan tuturan awal yang diucapkan oleh Batara Guru pada penghadapan. Kalimat ini menggunakan bahasa Jawa Kuna yang artinya kurang lebih ‘dengan menyebut Sang Pencipta akan selamat kedudukanku.’ Ungkapan ini diucapkan oleh Batara Guru agar dirinya selalu ingat kepada Sang Pencipta sehingga tidak akan melanggar aturannya dalam rangka jabatannya sebagai pemimpin.
8.      wé hu hu hu hé hé hé dan Wah hah haha merupakan gaya tertawa-tawayang menjadi tuturan khas tokoh wayang Dursasana. Gaya tertawa ini digunakan dalam segala situasi baik resmi maupun tidak resmi, dan dalam keadaan apapun baik senang atau marah. Tertawa seperti ini juga dipakai oleh tokoh Kartadhênta dan Durmagati, yang membedakan adalah suaranya yang biasa dimainkan oleh dalang.
9.      Brêkéncong-brêkéncong pak pak pong buk bolong waru dhoyong digêdhor nguwong kali Codhé sapa sing gawé. Adalah tuturan tokoh wayang yang biasa diucapka oleh golongan kelas sosial tinggi, dalam hal ini misalnya kalimat tersebut diungkapkan oleh dewa, raja tetua, dll. Cirinya dalam kalimat tersebut misalnya kata kita ‘kamu’ sebagai sapaan terhadap orang kedua dan ulun ‘aku’ sebutan bagi para dewa.
10.  Bumi gonjang-ganjing, langit kelap-kelap merupakan kalimat yang diungkapkan dalang saat beliau hendak mengeluarkan atau memainkan tokoh Gathotkaca. Maksud dari ungkapan itu adalah berkaitan dengan kehebatan kekuatan yang dimiliki oleh tokoh Gathotkaca sehingga setiap kedatangannya bumi seakan bergetar dan langit kelap-kelip oleh kekuatannya.
11.  Woyo-woyo joss! Merupakan ekspresi yang biasa diungkapkan oleh dalang saat bernyanyi atau nembang dan lagu yang dinyanyikan memasuki bagian intro atau bagian disaat musik gamelan bersuara kencang tanpa ada lirik yang dinyanyikan oleh dalang. Tidak jelas makna atau maksud dari ungkapan ini, namun dari nada suuara dalang ketika mengungkapkan kalimat ini dengan nada keras setengah teriak penuh dengan semangat, bisa dimaksudkan kalimat ini merupakan tanda penyemangat kepada para penonton agar tidak mengantuk.
12.  Buka sithik joss! Secara makna katanya, kalimat ini mempunyai arti ‘dibuka sedikit’, namun jika ungkapan ini diutarakan sama seperti ungkapan Woyo-woyo joss! yaitu saat dalang bernyanyi atau nembang dan lagu yang dinyanyikan memasuki bagian intro atau bagian disaat musik gamelan bersuara kencang tanpa ada lirik yang dinyanyikan oleh dalang, makna kalimat ini menjadi tidak jelas, apanya yang dibuka sedikit? Jadi bisa saja sama halnya Woyo-woyo joss!, dari nada suuara dalang ketika mengungkapkan kalimat ini dengan nada keras setengah teriak penuh dengan semangat, bisa dimaksudkan kalimat ini merupakan tanda penyemangat kepada para penonton agar tidak mengantuk.
13.  Hong ilahèng bawana langgê hyang suksma adilinuwih, merupakan kalimat dari bahasa Jawa Kuna yang menjadi gaya khas tuturan awal yang diucapkan oleh Krêsna. Dalam konteksnya, kalimat ini mempunyai makna kurang lebih ‘manusia untuk tetap patuh pada norma dan jangan sampai melanggar aturan agar dunia tentram dan indah. Krêsna sebagai jelmaan dewa Wisnu pantas mengucapkan kalimat ini karena ia adalah tokoh penjaga kedamaian.
14.  É é jagad déwa bathara ya jagad pramundita. Kalimat ini merupakan gaya tuturan diawal yang selalu diungkapkan Baladewa pada situasi resmi atau formal. Dalam konteksnya, maksud ungkapan ini adalah cetusan rasa terhadap keagungan sang Pencipta.
15.  Uit clala la la la la la la merupakan kata seru sebagai luapan rasa yang tidak ada artinya. Dalam kontesnya, ungkapan ini hanya sebagai gaya khas atau juga sebagai tanda rasa percaya diri tokoh cakil saat bertemu dan bertutur dengan satria yang dijumpainya di hutan menjelang berperang.
16.  Hong mangarcånå maya sidhi sêkaring bawånå langgêng merupakan ungkapan yang biasa diucapkan oleh tokoh Kanwa. Dalam konteksnya, ungkapan ini menggunakan bahasa Jawa Kuna yang bermakna ‘mengagungkan kebesaran dan kesempurnaan tokoh utama (Sang Pencipta) dunia abadi.’ Hal ini bisa terjadi karena Kanwa merupakan seorang tokoh rohaniawan yang dalam berbicara selalu mengaitkannya dengan Sang Pensipta.

Previous
« Prev Post

Related Posts

7:06 PM

1 komentar:

  1. No. 11 dan 12 hanya diucapkan oleh dalang modern aja..tidak indah blas..

    ReplyDelete